Kota Madiun, – Mayor Arm Nurwahyu Sujatmiko kecil, dibesarkan di Desa Bajang, Mlarak, sebuah desa pinggiran di Ponorogo. Orang tuanya yang berprofesi sebagai guru, membuatnya menjadi sosok yang disiplin dan pantang menyerah. Kehidupan keluarganya yang sederhana, juga melatih dia untuk dapat hidup mandiri.
Cita-citanya dari kecil adalah dapat menjadi seorang prajurit TNI. Keinginan kuat terhadap cita-citanya itu dimulai sejak dia duduk di bangku sekolah dasar.
“Dulu ada salah satu guru SD saya. Waktu itu suaminya yang seorang TNI baru pulang tugas dari Timor-Timur. Saya lihat kok gagah, tinggi, tegap, santun dan suka membantu istrinya. Dari situlah saya mulai tertarik untuk menjadi TNI,” katanya saat ditemui di kantornya, Rabu (5/1/2022).
Ketertarikannya itu kemudian diikuti dengan upaya dan kerja keras untuk mempersiapkan dirinya sejak saat itu. “Dari kelas 4 SD saya sudah membiasakan diri sehabis sholat shubuh di Masjid langsung lari-lari ke sawah tanpa alas kaki. Karena dulu jaman saya, anak-anak sekolah masih jarang pakai sepatu,” terangnya.
Di samping kemampuan lari yang dibinanya, kekuatan tangannya juga terus dibinanya dengan menggunakan sarana dan prasarana yang ada di sekitar tempat tinggalnya.
“Dulu ada di dekat rumah itu pohon pepaya kembar yang saya manfaatkan jadi tiang restock dengan menambahkan bambu di atasnya untuk pegangan tangan. Karena dibuat seadanya, waktu itu juga sempat jatuh beberapa kali. Bahkan saat sedang main pun, asal ada pohon yang dapat dipanjat dan bisa buat restock juga jadi,” ujarnya.
Lebih dari itu, Mayor Nurwahyu juga menguatkan kedua tangannya dengan membantu orang tuanya menyirami tanaman tomat di kebunnya dengan cara membawa ember penuh air di kedua tangannya.
Cita-citanya menjadi seorang prajurit juga didukung oleh kegemarannya pada kegiatan pramuka, baris berbaris dan haiking ke gunung-gunung. Bahkan dari SD hingga SMA, dirinya selalu ditunjuk menjadi ketua kelas.
Kemudian selepas menyelesaikan pendidikannya di salah satu Sekolah Menengah Atas di Ponorogo pada tahun 1987, dia pun mencoba mendaftarkan diri untuk dapat masuk Akabri, yang sekarang disebut Akmil.
Namun saat itu, keberuntungan belum berpihak padanya. Tetapi hal itu tidak membuatnya putus asa dan menyerah. Justru hal itu semakin memotivasi dirinya untuk dapat mewujudkan cita-citanya.
Setelah gagal masuk Akmil dan karena tidak mau membebani orang tuanya. Dia pun lantas mencari kesibukan dengan berbagai kegiatan keagamaan, sambil menunggu pembukaan pendaftaran selanjutnya.
“Saya ini delapan bersaudara. Karena itulah tidak ingin memberatkan orang tua. Jadi waktu itu saya memutuskan untuk kursus Qiroat, Tartil, dan kalau sore mengajar di Madrasah Diniyah,” ungkapnya.
Setahun kemudian atau tepatnya pada tahun 1988, Mayor Nurwahyu kembali mencoba peruntungannya agar dapat masuk Akmil untuk yang kedua kalinya. Kalau sebelumnya sampai seleksi di tingkat pusat Magelang, kali ini hanya sampai di tingkat Kodam V/Brawijaya.
Setelahnya, selang beberapa bulan keberuntungannya berubah. Diawali dari merantaunya ke Jakarta selepas gagal masuk Akmil di kesempatan kedua. Hanya sebulan di Jakarta, karena merasa tidak betah akhirnya memutuskan untuk kembali ke Ponorogo.
“Sekembalinya dari Jakarta dan tiba di Terminal Ponorogo waktu itu sudah malam dan tidak ada lagi bus menuju Trenggalek yang melewati rumah saya. Sambil menunggu pagi untuk naik bus pemberangkatan pertama, kemudian saya keluar dari terminal dan lewat di dekat Koramil yang letaknya berdekatan. Tanpa sengaja kok melihat ada pengumuman pendaftaran Secaba AD yang tinggal 3 hari lagi ditutup,” bebernya.
“Dari situlah dan karena waktu sudah mepet, kemudian saya bagi tugas dengan keluarga. Waktu itu bapak dan adik saya membantu untuk melengkapi persyaratan-persyaratan yang dibutuhkan,” lanjutnya.
Singkat cerita, perjuangannya untuk mewujudkan cita-citanya pun berbuah manis dan jalan hidupnya menjadi seorang prajurit TNI dimulai.
Namun dibalik kesuksesannya diterima masuk TNI, dia masih ingat betul satu peristiwa yang tidak akan dilupakannya. “Saat mendaftar dulu di Malang, saya pernah tidur di Masjid. Dan saat saya tidur, tas yang berisi ijazah-ijazah SD hingga SMA dicuri maling. Tapi untungnya malingnya dapat tertangkap dan ijazah saya kembali. Kalau sempat hilang mungkin saya tidak bisa jadi seperti sekarang ini,” jelasnya.
Sejak dilantik tahun 1988 dengan menyandang pangkat Sersan Dua, Mayor Arm Nurwahyu Sujatmiko pernah bertugas di berbagai satuan di lingkungan TNI AD. Mulai dari Sekolah Arhanud, Sekolah Peluru Kendali, Yon Armed 12/Kostrad, Kodim 0811/Tuban, Kodim 0805/Ngawi dan Korem 081/DSJ.
Puncak dari semua kariernya di dunia militer itu adalah saat dia berdinas di Korem 081/DSJ dengan menjabat sebagai Kepala Penerangan Korem. Di sana dia berhasil menorehkan tinta emas saat membawa satuan yang dipimpinnya mampu berprestasi di tingkat Angkatan Darat.
Tak tanggung-tanggung, prestasi tersebut diraihnya secara tiga kali berturut-turut pada gelaran Lomba Karya Jurnalitik (LKJ) TMMD di tahun 2021.
Prestasi itu menjadikan kado istimewa bagi Korem 081/DSJ di hari ulang tahunnya yang ke-58 dan di usianya yang kini sudah menginjak 56 tahun. Dan bahkan di ujung kariernya sebagai prajurit TNI yang hanya tinggal setahun lebih sebelum memasuki masa persiapan pensiun.